Minggu, 07 Desember 2014

Bilang : Negeriku bukan Surga Koruptor

http://liputanislam.com/wp-content/uploads/2014/08/merdeka-belum-usai.png
           
            Saya merasa terpangggil, secara moril untuk bertanggung   jawab membuka mata kita semua dari kabut pesimis yang menggantung. Langsung saja, bahwa sebelum  bicara soal Indonesia dan masalahnya setidaknya kita harus menatap  Indonesia, mendorong Indonesia, merubah  dan  membenahi  permasalahan di Indonesia patut dilakukan dengan memberi  apresiasi secara cover all side, atau dari semua sisi.   Dewasa ini kita sama sekali krisis optimis, minus solusi, dan hanya ramai akan kritikan. Terlebih lagi, beberapa kalangan di negeri ini ,
tapi  tentu tidak semuanya, semakin tak acuh lagi dengan persoalan bangsa.

Kecenderungan untuk memilih diam, menyoroti sisi kelemahan  tanpa mengapresiasi capaian,
membuat berbagai poin  positif lewat   begitu saja.

            Atas  dasar    optimis,    kita harus adil dalam melihat berbagai sisi,
mulai dari menstimulus berbagai capaian, dan memberi solusi atas kekurangan. Secara optimis kita tentunya tidak asal  optimis, namun optimis yang dibarengi rasa kritis yang realistis. Optimis berdiri pada landasan untuk mendorong ke arah lebih baik, lebih mantap berdasarkan realitas. Kita tidak harus menghindar daripada masalah, apalagi bertepuk layu. Tapi Sebaliknya pesimis mengantarkan pada gerbang kegagalan. Lalu apakah kita harus tetap pesimis dan menjerumuskan bangsa kita pada kegagalan
 ?.  Tentunya tidak. Jika demikian, maka modal utama yang harus
kita pupuk disini sebelum bicara soal keberhasilan pembangunan bangsa kita
adalah harus   bersikap optimis. Sebab,optimis yang realistis melahirkan
dorongan untuk berbesar hati,  berbesar asa, dan turun tangan mendorong  ke arah lebihbaik,
meski   dengan  satu tindakan kecil. Sebab setisap permasalahan
membutuhkan proses yang tidak segampang membalik telapak tangan.  .


            Mari kita ulur benang mundur, untuk menarik ingatan kita ke belakang. Kita punya tetesan sejarah emas, saat para pemuda tidak lebih memilih diam, namun terjun membangkitkan dan mempersatukan Indonesia dengan momentum sumpah pemuda. Sebenarnya langkah awal ini telah sepenuhnya membebaskan dan mengajarkan kita untuk keluar daripada perilaku mendiamkan diri, pesimis, sekaligus meninggalkan perjuangan sektoral. Opini kebhinekaan dan simbol perjuangan yang sangat optimis terjewantahkan lewat sejarah ini. Bayangkan jika pada waktu itu para pemuda harus memilih diam, dan kembali mengusung kekuatan sektoral, apakah langkah maju persatuan dan kebhinekaan akan terwujud ?. Jawaban  normalnya, tidak. Bangsa, apalagi pembangunan bangsanya akan terkotak-kotak dan bahkan setiap orang akan terlahir untuk mendikotomi dirinya dalam sekat-sekat  tradisional,  kesukuan,  keagamaan dan
kepentingan sepihak.

            Kita mulai dari bangkit untuk berbenah, berbenah untuk melawan. Tentu apa yang dilawan adalah kesewenang-wenangan. Meski begitu, garansi dari tindakan kita ini adalah cara kita melunasi janji kebangsaan kita, yakni menyumbang dengan tindakan nyata.
Kita tidak hanya dipaksa surut dalam diam atau pasang dalam euforia.  Diam tertunduk pasti tertindas, menjadi diam adalah tindakan yang secara tidak langsung mendiamkan harapan.
Lalu ketika harapan telah didiamkan, dimanakah keoptimisan akan berlanjut ?. Sudahlah pasti kita akan tetap berada pada rel yang stagnan. Dengan demikian, mari turun-tanganlah, ajarkan pada diri anda bahwa harapan bukan persoalan mengurung ide, mengurun angan, namun konsekuensi antara berpikir dan bertindak. Menjadi diam adalah memilih untuk menjadi budak daripada pikiran. Pikiran memperbudak manusia ketika berbagai gagasan dianggap hanya sebagai barang tabuh untuk diperjuangkan.

            Kita tak harus lagi berdiri  pada landasan yang ortodoks yang minus pendasarannya lalu memandang hanya pada sisi  kekurangan. Ubah mindset kita, gantikan saja dengan berpikir optimis lalu menyikapi berbagai proses yang  terus berlangsung secara dinamis. 
Optimis itu bukan hanya sekadar optimis, namun ia  harus  realistis. Yang tentunya tidak juga, bakal mengurangi  sikap kritis kita. Dengan demikian
bangsa ini, pada dasarnya sudah  harus    dibangun dengan memberdayakan
berbagai elemen di dalamnya, dan yang terpenting  adalah memberdayakan
anak bangsanya.

            Memberdayakan anak bangsa bukan lagi berbicara soal hitung-hitungan imbalan, bukan lagi cetus mencetuskan gagasan semata tanpa tindak lanjut, bukan lagi soal nanti, tapi setiap orang sudah harus menjadi pengambil bagian dengan harus berkontribusi. Bertindak nyata sejauh apa yang dapat anda perbuat adalah menjadikan bangsa tidak hanya kaya kritik namun disetiap kritikan beriring solusi.  Janganlah menjadi “generasi penghayal”  namun jadilah generasi penentu zaman. Yang perubahan zaman dan konstalasinya setidaknya berpengaruh atau berubah lebih baik berkat campur tangan kita. Ketika anda lebih memilih diam, secara tidak langsung andalah yang telah membuat kecelakaan sejarah . Jika demikian, maka modal membangun bangsa sesungguhnya tidak lagi tampak, sedangkan kita sudah harus menampilkan pembangunan bangsa kita melalu gerak kita yang didukung jiwa ke-optimisan untuk berbenah. Berbenah-bergerak
dan sekali lagi untuk berubah lebih baik.

            Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tidak memilih mendiamkan dengan kritikan, tidak membiarkan bangsanya dalam kepentingan sepihak sehingga harus rela menjadi kalangan idealis sesaat. Jika demikian inilah yang sebenarnya disebut Idealis "puntung si perokok" . Mereka menyakitkan orang lain karena kena asapnya,
namun membahagiakan sekaligus merusak si perokok tapi  dirinya kemudian harus juga terbakar menjadi sampah (puntung) juga. 
Idealis atas nama kepentingan. Kepentingan untuk mengamankan keuntungan sepihak saja.
            Kalangan yang demikian, yang mencatatkan dirinya sebagai anak bangsa yang “hilang”. Yakni anak bangsa yang melewatkan catatan kosong dalam hidupnya. Catatan kosong seorang anak bangsa adalah bukan sekadar menjadi penonton. Jika anak bangsa lebih memilih menjadi penonton maka yang lahir nantinya adalah anak bangsa penggerutu, yang sesekali menggerutu ketika melihat orang lain ikut ambil bagian.
            Dengan begitu bangsa hanya bergerak tempat, akan kaya dengan kritikan namun miskin solusi. Berhentilah menjadi penggerutu, segeralah menjadi anak bangsa kreatif, yakni anak bangsa yang kritis dan memberikan solusi disetiap persimpangan. Berhentilah untuk diam dan tertunduk, sebab diam adalah memperpanjang rantai persoalan.

            Mengkhianati bangsa mengkhianati tanggung jawab sebagai anak bangsa. Janganlah menjadi generasi dalam kesenjangan, yang pikir dan tindaknya bersebarangan. Turun tanganlah,beri solusi, dan tidak hanya mengikat gagasan , mengumpar retorika, menebar cacian, atau bahkan tidak harus melihat sisi buruk tanpa capaian. Melihat Indonesia, membangun bangsa harus di mulai dari sikap kita yang optimis,
dan mau memberi solusi. Berbagai persoalan yang terus-menerus datang menimpa bangsa ini, tidak hanya harus dilihat
dalam satu kaca mata negatif saja, namun sebaiknya dari sisi pencapaian
yang positif harus di tilik.

            Mari kita gambarkan sebentar, bahwa jika persoalan korupsi yang belakangan ini terus menerus menyerang bangsa kita, tentunya kita mengalami rasa prihatin dan krisis akan harapan. Meski semuanya tidak seperti itu. Kita harus menghitung pencapaian positif di balik persoalan ini. Kita harus berbangga bahwa masalah korupsi yang beredar
adalah suatu pencapaian dari kerja keras penegak hukum kita yang
terus-terusan tanpa pandang buluh memberantas korupsi. Dibalik kasus korupsi harus di akui secara optimis bahwa ada orang-orang hebat yang siap mengusut tuntas kasus haram ini sehingga korupsi itu terungkap. Kita juga harus optimis, bahwa awal pemberantasan korupsi kita paling tidak telah mengalami kemajuan. Setidaknya juga kita harus melepaskan lagi label pesimis kita dalam  menstigma bangsa kita sebagai
surga para koruptor.
            Harus optimis dan solutif tanpa sedikitpun lalai dari sikap kritis bahwa Indonesia bukan lagi surga koruptor. Sederhana saja,menganalogikan persoalan ini,   apalagi jika dibarengi dengan ke-optimisan kita. Indonesia bukan surga koruptor. Kenapa ?. Jika demikian, lalu kenapa banyak koruptor yang bermunculan ?.  Sejauh kita tetap optimis, bahwa kasus-kasus yang selama ini terkunci berhasil muncul setidaknya karena kerja keras orang-orang hebat dibelakangnya. Bisa anda bayangkan bersama saya, bagaimana jika tidak ada orang-orang  baik yang mendorong , mengusut dan menangkap para koruptor itu ?. Tentunya makin lebih ramai lagi korupsi yang bakal terjadi secara masif dan bahkan sulit terungkap. 

Jadi, secara optimis saya tetap berpegang bahwa terungkapnya kasus korupsi adalah sebuah kemajuan dari kerja keras penegak hukum kita. Setidaknya mereka tidak tinggal diam, tidak patah arang dalam memberangus para koruptor.  Hal yang tak kalah penting juga bahwa, kita tidak harus pesimis dan mencap begitu saja bangsa kita sebagai surga koruptor.  Negeri kita bukan surga koruptor, tetapi negeri kita adalah petaka bagi para koruptor. Sehingga itu, Nazarudin, Neneng Nurbaeti dan bahkan Miranda Goeltom, yang semuanya sebagai koruptor merasa takut untuk tinggal di Indonesia dan memilih melarikan diri ke luar negeri. Apresiasi juga harus kita berikan bahwa di balik bad news  masalah korupsi, ada good news, bahwa karena penegakan hukum kita,maka Akil Mochtar tertangkap basah sebagai koruptor, Andi Mallarangeng dapat mendekap di penjara, dan bahkan Anas Urbaningrum, hingga Suryadharma Ali, mengurung diri di balik jeruji. Hal ini berarti bahwa keberadaan mereka dalam negara Indonesia sebagai koruptor, sangat terancam akibat upaya pemberantasan korupsi kita yang tidak berjalan di tempat.
 Namun agenda kita  dalam  pemberantasan korupsi tak harus berbangga  sampai sebatas itu, namun ia harus di perpanjang sampai
pada kerja nyata mendorong pengawasan, mengawasi secara langsung,
dan mendukung penangkapan, para mafioso di tanah air kita melalui
pengawasan semesta. 

            Beragam kekurangan semisal kasus korupsi di atas, saban kali kita tanggapi secara sinis, dan seringkali kita mencampur-baurkannya sebagai tindakan kritis. Padahal tindakan sinis dan kritis sama sekali berbeda. Sinis seringkali membuka ruang pesimis, itu sebabnya dia akan menonjolkan  setiap  persoalan-persoalan yang alpa akan capaian.

            Maka tidak ada jalan lain, selain bersikap optimis dan bertindak membenahi persoalan di atas dalam bentuk kerja nyata kita. Sendi-sendi mengurun angan, bersikap diam, mengkritik tanpa solusi, harus di reduksi agar kita dapat mereposisi permasalahan yang terjadi utamanya korupsi dengan suatu langkah turun tangan. Turun langsung
dan berbuat untuk mengawal setiap ketimpangan secara semesta, dengan tidak menaruh begitu saja tugas pengawasan pada para penegak hukum. Semua orang harus terlibat dan melibatkan diri untuk mengawal tiap proses secara  baik.  Hal ini memberikan sebuah nilai integritas (integrity value)  bagi kita, bahwa kita tidak tinggal diam, tetapi kita melakukan sesuatu
untuk menyingkirkan perilaku koruptif.
     Masalah korupsi yang sehari hari di perbincangkan, harus  mendapatkan respon positif dengan lebih jeli lagi, misalnya dengan rame-rame menyikapi penggunaan kekuasaan hingga keuangan secara tajam, mendorong orang-orang berintegritas ke   dalam sistem yang kurang baik sekalipun.
Dengan begitu, akan memberikan efek lanjut dari kinerja  dalam memberantas korupsi.
            Mari kita sandingkan dengan pandangan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, bahwa “korupsi dan kejahatan terjadi karena banyaknya, orang baik yang memilih diam dan mendiamkan”. Disamping itu, argumen ini di ikuti juga dengan cetusannya yang sangat optimis yaitu “suatu saat nanti korupsi akan menjadi perilaku yang sangat primitif”. Sehingga, gagasan yang demikian harus ditambal dengan suatu tindakan nyata. Sebab itu, maka tugas kita adalah jika lihat masalah korupsi, maka tidak hanya panggil orang lain namun juga panggil diri kita untuk
sama –sama mendorong, memberanguskan masalahnya . Sebab persoalan membuka ruang bagi perilaku korup kadang  terus kita ikuti namun kita sering tidak tertarik menentangnya. 
            

        Berkat rasa optimis yang kita miliki,  kita setidakya dapat menjaga nama baik Indonesia. Karena rasa terpanggil untuk memberi solusi, untuk bertindak nyata. Sehingga kita dapat mereduksi perilaku korupsi, menjegal, dan bahkan  menyandera orang orang  koruptif  secara
bersama-sama   demi pembaruan Indonesia kita   ke depan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar