Minggu, 07 Desember 2014

Belajar dari Ale Rasa Beta Rasa, untuk pupuk Persaudaraan kita


              Sembari menghitung daerah-daerah di seantero negeri Indonesia, saya disuguhi satu keindahan tersendiri. Keindahan pulau yang luar biasa. Namanya Maluku. Bukan hanya pulaunya, kehidupan masyarakat setempat berjalan baik setiap harinya. Ada yang unik di negeri ini yaitu salah satu prinsip hidup masyarakatnya. Menjadi tegas, untuk dikatakan bahwa Maluku punya prinsip“ale rasa beta rasa”. Serius memperhatikan kehidupan yang berkembang
di masyarakat, tentu kita ingin melanjutkan untuk mengetahui seperti apa dan untuk apa artinya 
dari prinsip yang disokong dalam hidup orang bersaudara di Maluku. Ale rasa beta rasa  
kalau di Indonesiakan itu, kamu rasa, saya juga rasa. Artinya , apa yang orang alami, harus di bantu juga oleh kita sebagai orang bersaudara di Maluku. Bermakna mirip Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda  tetap  satu. Meskipun berbeda status, agama, kebudayaan hingga latar belakang, membuat kita tetap memiliki satu latar depan  bernama persaudaraan.  Prinsip  ini memang sangat esentif, penuh makna untuk tetap  hidup di bumi eksotis ini.

            Hamparan daerah berjulukan seribu pulau ini,begitu menyimpan makna. Masyarakatnya yang selalu menjaga hubungan persaudaraan tak pernah lelah dalam mengkampanyekan pepatah itu. Ale rasa beta rasa,  seperti sudah mengakar, sampai saat ini. Masyarakat tak pernah memandang berbagai perbedaan sebagai pemisah apalagi penghancur di antara kehidupan mereka. Seperti berjelaga jika hidup tanpa persaudaraan. Memang prinsip ini mujarab untuk dipakai sebagai pemersatu bangsa. Kita tidak bisa memungkiri bahwa,  ikatan masyarakat yang dibangun tak pernah cenderung mematikan kesatuan negara tercinta,Indonesia. Bagaimana tidak, konsep  hidup ale rasa beta rasa telah lama menjadi alat pemersatu baik  dalam satu daerah, antar daerah,  maupun antar agama di Maluku.

            Keberagaman di Maluku, mengajarkan pada kita bahwa, semua orang harus merasa satu , bukan hanya satu yang  merasa. Kelestarian persatuan bangsa akan semakin baik jika kita semakin menyandingkan prinsip Ale rasa beta rasa dengan kehidupan kita seharian. Membangun ikatan antar sesama daerah harus dibangun dari daerah sebagai alasan bahwa, semua orang Indonesia adalah bersaudara, layaknya adik dan kakak. Realitasnya, kita harus terus optimis secara kritis untuk menghidupi nilai-nilai solidaritas dari berbagai daerah sebagai tonggak pembangunan nation building. Sebab, akumulasi daripada persatuan masyarakat di daerah, merupakan tolak ukur integrasi kebangsaan kita. Jika dalam lingkup daerah saja kita sudah tidak bersatu, lalu bagaimana lagi kita akan bersatu sampat pada tingkat ke-Indonesiaan. Dengan begitu, patut untuk setiap orang memiliki tanggung jawab moral untuk sama-sama mendorong kekerabatan ke-Indonesiaan kita. Semua harus hidup akur dalam satu tenun kebangsaan. Kearifan lokal di Maluku semisal, Ale rasa, beta rasa pun demikian, harus tetap menyokong persatuan sebangsa dan setanah air dalam kapasitas lokal keindonesiaan. Prinsip ini harus terus dipupuk, hingga menubuh dengan khas dan terus hidup dalam masyarakat yang sedinamis apapun.

            Menurut I.H Wenno, “Ale rasa beta rasa” memberi ruang bagi setiap orang Maluku untuk menikmati hidup selayaknya manusia sebagai makhluk sosial, dan hidup tanpa tekanan atau beban. Hidup di mana bentuk- bentuk perbedaan secara fisik dalam bentuk suku, etnis, dan agama mencair dalam suatu solidaritas bersama yang muncul melalui aktivitas saling tolong-menolong, rasa senasib, dan sepenanggungan. Sikap  hidup orang bersaudara yangdemikian adalah fitrah manusiawi   yang    memang    secara  genealogis pun  telah  ada semenjak Adam dan Hawa dipertemukan.

            Konsep Ale rasa beta rasa dapat menjadi rekonsiliasi atau pereda konflik dalam Indonesia. Lumuran konflik dalam negeri, rekonsiliasi bisa dilakukan dengan menanamkan kembali prinsip tersebut, dan juga merasa sepenanggungan terhadap akibat konflik tersebut. Masyarakat sama-sama berkeinginan kuat untuk membina kembali ikatan sosial. Harapan masyarakat untuk persatuan tentunya tak akan hanya sekadar angan-angan jika prinsip Ale rasa beta rasa semakin giat dipupuhkan.

            Prinsip ale rasa beta  rasa juga melahirkan berbagai idiom yang tentunya memiliki makna terdalam. Sebut saja  sagu salepeng pata dua, potong di kuku rasa di daging, masohi, maupun Maluku satu darah. Idiom ini dapat dipakai oleh kita sebagai bangsa Indonesia, sebab begitu banyak tersimpan makna mendalam, misalnya Sagu salempeng pata dua memiliki makna bahwa meskipun dalam keadaan yang susah sekalipun tetap berbagi.

            Potong di kuku rasa di daging, timbul dari ale rasa beta rasa memiliki makna bahwa hubungan antar manusia bak’ satu tubuh. Jika tubuh lainnya merasakan sakit,  maka bagian tubuh lainnya akan merespon bahkan turut merasakan.
Kita memang hidup dalam belantara perbedaan namun kita harus pegang prinsip persatuan.  

            Dari ale Rasa beta rasa, kiranya kita dapat menghirup angin segar untuk tetap hidup dalam kebersamaan. Ale rasa beta rasa menyiratkan pesan hangat, pesan terdalam, pesan untuk kita terus belajar mencintai sesama kita, mencintai Indonesia, bahwa Indonesia adalah akumulasi dari persaudaraan kita semua, dan mari kita wariskan tidak hanya untuk kita yang hidup hari ini, tapi juga untuk anak-anak kita dan anak-anak dari anak-anak kita  dari anak-anak kita.   Tetap Do’a and the  best for peoples.

Bilang : Negeriku bukan Surga Koruptor

http://liputanislam.com/wp-content/uploads/2014/08/merdeka-belum-usai.png
           
            Saya merasa terpangggil, secara moril untuk bertanggung   jawab membuka mata kita semua dari kabut pesimis yang menggantung. Langsung saja, bahwa sebelum  bicara soal Indonesia dan masalahnya setidaknya kita harus menatap  Indonesia, mendorong Indonesia, merubah  dan  membenahi  permasalahan di Indonesia patut dilakukan dengan memberi  apresiasi secara cover all side, atau dari semua sisi.   Dewasa ini kita sama sekali krisis optimis, minus solusi, dan hanya ramai akan kritikan. Terlebih lagi, beberapa kalangan di negeri ini ,
tapi  tentu tidak semuanya, semakin tak acuh lagi dengan persoalan bangsa.

Kecenderungan untuk memilih diam, menyoroti sisi kelemahan  tanpa mengapresiasi capaian,
membuat berbagai poin  positif lewat   begitu saja.

            Atas  dasar    optimis,    kita harus adil dalam melihat berbagai sisi,
mulai dari menstimulus berbagai capaian, dan memberi solusi atas kekurangan. Secara optimis kita tentunya tidak asal  optimis, namun optimis yang dibarengi rasa kritis yang realistis. Optimis berdiri pada landasan untuk mendorong ke arah lebih baik, lebih mantap berdasarkan realitas. Kita tidak harus menghindar daripada masalah, apalagi bertepuk layu. Tapi Sebaliknya pesimis mengantarkan pada gerbang kegagalan. Lalu apakah kita harus tetap pesimis dan menjerumuskan bangsa kita pada kegagalan
 ?.  Tentunya tidak. Jika demikian, maka modal utama yang harus
kita pupuk disini sebelum bicara soal keberhasilan pembangunan bangsa kita
adalah harus   bersikap optimis. Sebab,optimis yang realistis melahirkan
dorongan untuk berbesar hati,  berbesar asa, dan turun tangan mendorong  ke arah lebihbaik,
meski   dengan  satu tindakan kecil. Sebab setisap permasalahan
membutuhkan proses yang tidak segampang membalik telapak tangan.  .


            Mari kita ulur benang mundur, untuk menarik ingatan kita ke belakang. Kita punya tetesan sejarah emas, saat para pemuda tidak lebih memilih diam, namun terjun membangkitkan dan mempersatukan Indonesia dengan momentum sumpah pemuda. Sebenarnya langkah awal ini telah sepenuhnya membebaskan dan mengajarkan kita untuk keluar daripada perilaku mendiamkan diri, pesimis, sekaligus meninggalkan perjuangan sektoral. Opini kebhinekaan dan simbol perjuangan yang sangat optimis terjewantahkan lewat sejarah ini. Bayangkan jika pada waktu itu para pemuda harus memilih diam, dan kembali mengusung kekuatan sektoral, apakah langkah maju persatuan dan kebhinekaan akan terwujud ?. Jawaban  normalnya, tidak. Bangsa, apalagi pembangunan bangsanya akan terkotak-kotak dan bahkan setiap orang akan terlahir untuk mendikotomi dirinya dalam sekat-sekat  tradisional,  kesukuan,  keagamaan dan
kepentingan sepihak.

            Kita mulai dari bangkit untuk berbenah, berbenah untuk melawan. Tentu apa yang dilawan adalah kesewenang-wenangan. Meski begitu, garansi dari tindakan kita ini adalah cara kita melunasi janji kebangsaan kita, yakni menyumbang dengan tindakan nyata.
Kita tidak hanya dipaksa surut dalam diam atau pasang dalam euforia.  Diam tertunduk pasti tertindas, menjadi diam adalah tindakan yang secara tidak langsung mendiamkan harapan.
Lalu ketika harapan telah didiamkan, dimanakah keoptimisan akan berlanjut ?. Sudahlah pasti kita akan tetap berada pada rel yang stagnan. Dengan demikian, mari turun-tanganlah, ajarkan pada diri anda bahwa harapan bukan persoalan mengurung ide, mengurun angan, namun konsekuensi antara berpikir dan bertindak. Menjadi diam adalah memilih untuk menjadi budak daripada pikiran. Pikiran memperbudak manusia ketika berbagai gagasan dianggap hanya sebagai barang tabuh untuk diperjuangkan.

            Kita tak harus lagi berdiri  pada landasan yang ortodoks yang minus pendasarannya lalu memandang hanya pada sisi  kekurangan. Ubah mindset kita, gantikan saja dengan berpikir optimis lalu menyikapi berbagai proses yang  terus berlangsung secara dinamis. 
Optimis itu bukan hanya sekadar optimis, namun ia  harus  realistis. Yang tentunya tidak juga, bakal mengurangi  sikap kritis kita. Dengan demikian
bangsa ini, pada dasarnya sudah  harus    dibangun dengan memberdayakan
berbagai elemen di dalamnya, dan yang terpenting  adalah memberdayakan
anak bangsanya.

            Memberdayakan anak bangsa bukan lagi berbicara soal hitung-hitungan imbalan, bukan lagi cetus mencetuskan gagasan semata tanpa tindak lanjut, bukan lagi soal nanti, tapi setiap orang sudah harus menjadi pengambil bagian dengan harus berkontribusi. Bertindak nyata sejauh apa yang dapat anda perbuat adalah menjadikan bangsa tidak hanya kaya kritik namun disetiap kritikan beriring solusi.  Janganlah menjadi “generasi penghayal”  namun jadilah generasi penentu zaman. Yang perubahan zaman dan konstalasinya setidaknya berpengaruh atau berubah lebih baik berkat campur tangan kita. Ketika anda lebih memilih diam, secara tidak langsung andalah yang telah membuat kecelakaan sejarah . Jika demikian, maka modal membangun bangsa sesungguhnya tidak lagi tampak, sedangkan kita sudah harus menampilkan pembangunan bangsa kita melalu gerak kita yang didukung jiwa ke-optimisan untuk berbenah. Berbenah-bergerak
dan sekali lagi untuk berubah lebih baik.

            Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tidak memilih mendiamkan dengan kritikan, tidak membiarkan bangsanya dalam kepentingan sepihak sehingga harus rela menjadi kalangan idealis sesaat. Jika demikian inilah yang sebenarnya disebut Idealis "puntung si perokok" . Mereka menyakitkan orang lain karena kena asapnya,
namun membahagiakan sekaligus merusak si perokok tapi  dirinya kemudian harus juga terbakar menjadi sampah (puntung) juga. 
Idealis atas nama kepentingan. Kepentingan untuk mengamankan keuntungan sepihak saja.
            Kalangan yang demikian, yang mencatatkan dirinya sebagai anak bangsa yang “hilang”. Yakni anak bangsa yang melewatkan catatan kosong dalam hidupnya. Catatan kosong seorang anak bangsa adalah bukan sekadar menjadi penonton. Jika anak bangsa lebih memilih menjadi penonton maka yang lahir nantinya adalah anak bangsa penggerutu, yang sesekali menggerutu ketika melihat orang lain ikut ambil bagian.
            Dengan begitu bangsa hanya bergerak tempat, akan kaya dengan kritikan namun miskin solusi. Berhentilah menjadi penggerutu, segeralah menjadi anak bangsa kreatif, yakni anak bangsa yang kritis dan memberikan solusi disetiap persimpangan. Berhentilah untuk diam dan tertunduk, sebab diam adalah memperpanjang rantai persoalan.

            Mengkhianati bangsa mengkhianati tanggung jawab sebagai anak bangsa. Janganlah menjadi generasi dalam kesenjangan, yang pikir dan tindaknya bersebarangan. Turun tanganlah,beri solusi, dan tidak hanya mengikat gagasan , mengumpar retorika, menebar cacian, atau bahkan tidak harus melihat sisi buruk tanpa capaian. Melihat Indonesia, membangun bangsa harus di mulai dari sikap kita yang optimis,
dan mau memberi solusi. Berbagai persoalan yang terus-menerus datang menimpa bangsa ini, tidak hanya harus dilihat
dalam satu kaca mata negatif saja, namun sebaiknya dari sisi pencapaian
yang positif harus di tilik.

            Mari kita gambarkan sebentar, bahwa jika persoalan korupsi yang belakangan ini terus menerus menyerang bangsa kita, tentunya kita mengalami rasa prihatin dan krisis akan harapan. Meski semuanya tidak seperti itu. Kita harus menghitung pencapaian positif di balik persoalan ini. Kita harus berbangga bahwa masalah korupsi yang beredar
adalah suatu pencapaian dari kerja keras penegak hukum kita yang
terus-terusan tanpa pandang buluh memberantas korupsi. Dibalik kasus korupsi harus di akui secara optimis bahwa ada orang-orang hebat yang siap mengusut tuntas kasus haram ini sehingga korupsi itu terungkap. Kita juga harus optimis, bahwa awal pemberantasan korupsi kita paling tidak telah mengalami kemajuan. Setidaknya juga kita harus melepaskan lagi label pesimis kita dalam  menstigma bangsa kita sebagai
surga para koruptor.
            Harus optimis dan solutif tanpa sedikitpun lalai dari sikap kritis bahwa Indonesia bukan lagi surga koruptor. Sederhana saja,menganalogikan persoalan ini,   apalagi jika dibarengi dengan ke-optimisan kita. Indonesia bukan surga koruptor. Kenapa ?. Jika demikian, lalu kenapa banyak koruptor yang bermunculan ?.  Sejauh kita tetap optimis, bahwa kasus-kasus yang selama ini terkunci berhasil muncul setidaknya karena kerja keras orang-orang hebat dibelakangnya. Bisa anda bayangkan bersama saya, bagaimana jika tidak ada orang-orang  baik yang mendorong , mengusut dan menangkap para koruptor itu ?. Tentunya makin lebih ramai lagi korupsi yang bakal terjadi secara masif dan bahkan sulit terungkap. 

Jadi, secara optimis saya tetap berpegang bahwa terungkapnya kasus korupsi adalah sebuah kemajuan dari kerja keras penegak hukum kita. Setidaknya mereka tidak tinggal diam, tidak patah arang dalam memberangus para koruptor.  Hal yang tak kalah penting juga bahwa, kita tidak harus pesimis dan mencap begitu saja bangsa kita sebagai surga koruptor.  Negeri kita bukan surga koruptor, tetapi negeri kita adalah petaka bagi para koruptor. Sehingga itu, Nazarudin, Neneng Nurbaeti dan bahkan Miranda Goeltom, yang semuanya sebagai koruptor merasa takut untuk tinggal di Indonesia dan memilih melarikan diri ke luar negeri. Apresiasi juga harus kita berikan bahwa di balik bad news  masalah korupsi, ada good news, bahwa karena penegakan hukum kita,maka Akil Mochtar tertangkap basah sebagai koruptor, Andi Mallarangeng dapat mendekap di penjara, dan bahkan Anas Urbaningrum, hingga Suryadharma Ali, mengurung diri di balik jeruji. Hal ini berarti bahwa keberadaan mereka dalam negara Indonesia sebagai koruptor, sangat terancam akibat upaya pemberantasan korupsi kita yang tidak berjalan di tempat.
 Namun agenda kita  dalam  pemberantasan korupsi tak harus berbangga  sampai sebatas itu, namun ia harus di perpanjang sampai
pada kerja nyata mendorong pengawasan, mengawasi secara langsung,
dan mendukung penangkapan, para mafioso di tanah air kita melalui
pengawasan semesta. 

            Beragam kekurangan semisal kasus korupsi di atas, saban kali kita tanggapi secara sinis, dan seringkali kita mencampur-baurkannya sebagai tindakan kritis. Padahal tindakan sinis dan kritis sama sekali berbeda. Sinis seringkali membuka ruang pesimis, itu sebabnya dia akan menonjolkan  setiap  persoalan-persoalan yang alpa akan capaian.

            Maka tidak ada jalan lain, selain bersikap optimis dan bertindak membenahi persoalan di atas dalam bentuk kerja nyata kita. Sendi-sendi mengurun angan, bersikap diam, mengkritik tanpa solusi, harus di reduksi agar kita dapat mereposisi permasalahan yang terjadi utamanya korupsi dengan suatu langkah turun tangan. Turun langsung
dan berbuat untuk mengawal setiap ketimpangan secara semesta, dengan tidak menaruh begitu saja tugas pengawasan pada para penegak hukum. Semua orang harus terlibat dan melibatkan diri untuk mengawal tiap proses secara  baik.  Hal ini memberikan sebuah nilai integritas (integrity value)  bagi kita, bahwa kita tidak tinggal diam, tetapi kita melakukan sesuatu
untuk menyingkirkan perilaku koruptif.
     Masalah korupsi yang sehari hari di perbincangkan, harus  mendapatkan respon positif dengan lebih jeli lagi, misalnya dengan rame-rame menyikapi penggunaan kekuasaan hingga keuangan secara tajam, mendorong orang-orang berintegritas ke   dalam sistem yang kurang baik sekalipun.
Dengan begitu, akan memberikan efek lanjut dari kinerja  dalam memberantas korupsi.
            Mari kita sandingkan dengan pandangan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, bahwa “korupsi dan kejahatan terjadi karena banyaknya, orang baik yang memilih diam dan mendiamkan”. Disamping itu, argumen ini di ikuti juga dengan cetusannya yang sangat optimis yaitu “suatu saat nanti korupsi akan menjadi perilaku yang sangat primitif”. Sehingga, gagasan yang demikian harus ditambal dengan suatu tindakan nyata. Sebab itu, maka tugas kita adalah jika lihat masalah korupsi, maka tidak hanya panggil orang lain namun juga panggil diri kita untuk
sama –sama mendorong, memberanguskan masalahnya . Sebab persoalan membuka ruang bagi perilaku korup kadang  terus kita ikuti namun kita sering tidak tertarik menentangnya. 
            

        Berkat rasa optimis yang kita miliki,  kita setidakya dapat menjaga nama baik Indonesia. Karena rasa terpanggil untuk memberi solusi, untuk bertindak nyata. Sehingga kita dapat mereduksi perilaku korupsi, menjegal, dan bahkan  menyandera orang orang  koruptif  secara
bersama-sama   demi pembaruan Indonesia kita   ke depan.